![]() |
Mochammad Fajar Arrosyid (PPLUINSA23) |
Perkawinan mempunyai tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa serta saling menyantuni antara keduanya. Menurut hukum islam tujuan perkawinan adalah menuruti perintah allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. Di indonesia, ada dua jenis anak luar kawin, yaitu anak luar kawin yang diakui secara sah dan anak luar kawin yang tidak diakui.
Anak luar kawin
yang diakui dengan sah ialah anak yang dibenihkan oleh suami atau istri dengan
orang lain yang bukan istri atau suaminya yang sah. Anak luar kawin ini harus
mendapat pengakuan yang sah, atau ia dianggap tidak ada. Sedangkan anak luar
kawin tidak diakui adalah anak luar kawin yang tidak mendapat pengakuan yang
sah dari kedua orang tuanya, seperti anak buangan, atau yang mendapat pengakuan
kedua orang tuanya tetapi tidak disahkan. Anak (keturunan) dalam sebuah
perkawinan merupakan salah satu tujuan yang diingikan semua keluarga. Namun,
akan menjadi problem besar manakala seorang perempuan melahirkan anak yang hasil dari perselingkuhan. Problematika
dan tantangan hukum pernikahan saat ini semakin berat seiring dengan semakin
cepatnya dinamika perubahan sosial.
Dalam kitabnya, Imam an-Nawawi ulama madzhab Syafi’i dijelaskan
bahwa Jika ada seorang perempuan bersuami, kemudian hamil yang mungkin pula
disebabkan oleh laki-laki selain suaminya, maka ketika anak itu lahir
dinasabkan kepada suaminya. Maksud dari isi kitab tersebut “Jika ada dua orang laki-laki (suami
sah dan selingkuhan istri) yang bersama-sama menggaulinya (istri tersebut)
dalam keadaan suci, kemudian si istri hamil (dan melahirkan) anak yang
dimungkinkan anak itu berasal salah satu dari kedua laki-laki tadi, maka anak
tersebut dinasabkan kepada suami sahnya, sebab ada hadis, ‘Anak itu milik si
empunya ranjang,’ (HR. Al-Bukhari-Muslim).” (Imam an-Nawawi, Majmu’ Syarh Al-Muhadzab,
juz XVII/410). Al- Qalyubi Juga berpendapat bahwa “seorang perempuan yang sudah
menikah alias sudah bersuami, kemudian hamil dan melahirkan, maka anaknya itu
milik suaminya.”
Namun jika di
analisis dalam hukum positif indonesia Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan melalui
Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan: Pasal 43 ayat (1) UU
Perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai
menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata
mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca,
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya”.
Dari pembahasan di atas apabila seoarang perempuan datang dengan membawa
anak, dan diketahui bahwa anak tersebut bukan dari suaminya, dan dapat mungkin
dari suaminya (namun secara yakin tidak dari suaminya). Maka wajib meniadakan
(menolak mengakui), karena bila tidak dilaksanakan penolakan, dapat dimasukan
nasab dari orang yang tidak haram (suaminya). Jika dilahirkan kurang dari enam
bulan atau lebih dari empat tahun, maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan
kepada suami dan tidak wajib bagi suami untuk meli’an istrinya. Bagi anak tidak
berhak mendapatkan waris karena tidak ada sebab-sebab yang mendukung hubungan
nasab. Sehingga dalam prakteknya jika ada seorang istri yang selingkuh
sampai dia hamil maka anak tersebut akan bernasab pada ibu biologis dan ayah
yang bisa membuktikan bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya, baik itu dari
suami sah istri tersebut atau laki- laki yang menjadi selingkuhan istri
tersebut. Dari uraian
singkat di atas, dapat ditarik kesimpulan, antara lain:
1. Jika
perempuan bersuami selingkuh sampai hamil, maka anaknya dinasabkan kepada suami
sahnya.
2. Jika perempuan lajang hamil, kemudian dinikah seorang laki-laki, dan kelahirannya memenuhi usia minimal kehamilan semenjak akad, yaitu enam bulan, serta tidak ada laki-laki lain menggaulinya, maka anaknya dinasabkan kepada laki-laki yang menikahinya.
3. Jika perempuan lajang hamil, kemudian dinikahkan dan usia kehamilannya kurang dari enam bulan semenjak akad, maka anak dari wanita lajang tersebut tidak bisa dinasabkan kepada laki-laki yang menikahinya. (Mochammad Fajar Arrosyid-PPLUINSA23)
Posting Komentar untuk "SIAPA NASAB DARI ANAK HASIL PERSELINGKUHAN?"